Ada
kecendrungan pada sebagian wanita untuk mengartikan emansipasi sebagai kesamaa
dalam segala hal dengan pria. mereka mencampuradukkan pengertian
"kesamaan" dengan "kesederajatan". padahal,
kesederajatanlah yang pas buat wanita. wanita tidak mungkin sama dengan pria,
karena keduanya di rancang berbeda oleh penciptanya. karenanya, perbedaan ini
sejalan pula dengan perbedaan peran antara wanita dengan pria, sesuai fitrah
(fisik dan psikisnya). jadi, tak adil bila wanita dan pria menuntut peran yang
sama, karena fitrah mereka pun berbeda.
Perbedaan Wanita dengan Pria
Secara fisik
wanita berbeda dengan pria. Itu bias di lihat sejak masa kelahiran, bayi
laki-laki lebih berat dari pada bayi perempuan. Menginjak akhil baligh atau
dewasa, wanita mempunyai tonjolan di sekitar tubuhnya di bandingkan dengan
pria, tubuh pria lebih banyak memiliki kadar air, yakni sekitar 60-70 persen,
sementara tubuh wanita hanya 50-60 persen. Itu sebabnya pria lebih mampu
mencairkan minuman keras dan menunda pengaruhnya.
Dalam
soal lemak, wanita memiliki jaringan yang lebih besar, sekitar 25 persen,
sedangkan pria 15 pesen. Persentase lemak itu memudahkan wanita untuk berenang,
hanya dengan sedikit usaha, karena lebih ringan dalam air. Pria mempunyai
kecendrungan buta warna, sementara wanita tidak. Hanya 5 persen dari penderita
encok adalah wanita, dan wanita berusia lebih lama di hampir semua Negara di
dunia.
Wanita
dan pria pun memiliki perbedaan baik secara biologis maupun struktur otak.
Secara biologis pria lebih agresif karena adanya hormone testosterone, struktur
otak yang berbeda membuat wanita lebih unggul secara verbal, sedangkan pria
mempunyai superioritas ruang. Berdasarkan perbedaan itu, wanita lebih berbakat
dalam bidang bahasa, dan pria lebih berbakat dalam matematika dan ilmu ukur.
Akhirnya
sosialisasi, terutama dalam keluarga, menentukan dan mempertegas perbedaan di
antara dua jenis kelamin yang berbeda ini. Sosialisasi keluarga mengjarkan,
anak lelaki tak bak menangis, anak perempuan tidak pantas bermain bola,
mobil-mobilan atau pistol-pistolan. Perbedaan lingkungan ini pada titik
selanjutnya menciptakan identitas atau konsep diri yang berbeda antara wanita
dan pria.. karenanya, bilaada wanita kelaki-lakian atau lelaki
kewanita-wanitaan di anggap abnormal. Menjadi homoseksual dan lesbian di anggap
sebagai pengkhianatan diri.
Karena
perbedaan biologis dan sosialisasi tadi, maka wanita memiliki sifat merawat dan
mengasuh (naturance), yang merupakan fitrah atau kodrat alaminya. Jadi, bila
ada wanita yang tak ingin menjadi seorang ibu, dengan kata lain ia enggan
mempunyai anak serta tak mau merawatnya sama saja dengan mengingkari kodratnya.
Disisi
lain, perilaku wanita yang demikian bukan berarti bahwa pria mempunyai alasan
untuk lepas tanggung jawab dalam merawat dan mengasuh anak-anaknya. Nabi
Muhammad SAW yang menjadi teladan kaum muslim dikenal melakukan pekerjaan yang
biasa dilakukan wanita. Seperti menjahit bajunya yang robek. Sedangkan Siti
Aisyah justru lebih dikenal sebagai pencari dan pecinta ilmu, bukan tukang
masak. Tetapi dalam merawat anak wanitalah yang terpenting di butuhkan. Tanpa
naluri keibuannya, tentu, bangsa manusia telah punah sejak beberapa abad lalu.
Tiga Tipe Wanita
Emansipasi
kerap di artikan sebagai pembebasan atau pemerdekaan. Istiah ini mengingatkan
kita pada pergerakan wanita (women’s lib) di Amerika serikat. Di mulai sejak
1960-an. Gerakan itu bertujuan agar wanita mandiri. Tak berfgantung pada pria
dan memberontak pada dominasi pria. Perjuangan yang demikian, sebenarnya salak
kaprah. Karena, sepanjang sejarah manusia tak akan pernah bebas secara mutlak.
Wanita dan pria di ciptakan bukanlah untuk saling bersaing, melainkan untuk
saling melengkapi. Qur’an menyebutkan; “wanita adalah pakaian buat pria dan
pria pun pakaian buat wanita” (Al-bqarah; 187).
Di Indonesia terdapat tiga
golongan wanita dalam memandang emansipasi.
·
Wanita pembebas : golongan
ini memandang pria sebagai saingan, bahkan musuh dalam soal karier dan kerja.
Dalam berhubungan dengan pria dan berkeluarga, tipe wanita pembebas amat
dominan, sehingga suami akan manut terkadang takut terhadap istrinya. Ia lebih
menyukai karier dan kemandirian, sehingga bila pernikahan itu akan
menghalanginya dalam berkarier maka si wanita ini memilih tidak menikah sama
sekali. Ia beranggapan, kemunduran wanita dalam berbagai bidang juga dalam
memandang perbedaan fisik (wanita lebih lemah dari pada pria) adalah akibat
dominasi dan pembatasan yang di berlakukan pria. Meskipun jumlahnya tidak
banyak, di Negara kita juga terdapat wanita dengan tipe ini .
·
Wanita loyo : wanita tipe
ini merupakan kebalikan dari tipe pertama. Ia submisif dan tak bias mandiri,
segala keputusannya bergantung pada pria atau suaminya, dan wanita seperti ini
punya perasaan rendah diri terhadap lelaki. Namu begitu, wanita tipe ini bias
menjadi istri yang baik, walau ia tak kreatif dan tak punya inisiatif dalam
memperkaya kehidupan dirinya.
·
Dan yang terakhir adalah
wanita positif, wanita tipe ini merupakan golongan pertengahan, antara tipe
pembebas dan loyo. Wanita positif memahami bahwa fitrah kaumnya berbeda dengan
fitrah kaum pria. Ia menganggap, bukanlah kesuksesan atau kebahagian bila ia
harus meninggalkan fitrahnya, terutama fitrah merawat dan mengasuh
anak-anaknya. Ia pun mengejar pendidikan tinggi, tapi tidak ngotot menggunakan
pendidikannya untuk melulu berkarier. Baginya cukuplah bila ia menerapkan
pendidikannya secara kreatif dalam keluarga. Kalau pun ia berkarier, maka
wanita positif ini akan mencari posisi yang memungkinkannya tak kehilangan
nalurinya sebagai wanita atau istri dan sebagai ibu, misalnya sebagai guru,
dosen, atau konsultan. Baginya, keluarga adalah faktor yang terpenting.
Walhasil,
wanita positif selalu berpikir untuk memberikan dorongan, semangat, dan
keberanian kepada uaminya dalam berkegiatan. Bukan untuk menyainginya. Sehebat,
apa pun seorang lelaki, kehebatannya itu sedikit banyak pasti berkat campur
tangan seorang wanita, apakah itu ibunya atau istrinya, atau kedua-duanya.
Referensi : Deddy Mulyana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar