2.1 Pengertian Akhlak Malu (Al-Haya’)
Kata malu dalam bahasa Arab adalah
al-haya’ yang berarti hidup. Hati yang hidup tentu orangnya pemalu karena ia
menjadi pencegah setiap keburukan yang merusak hati itu sendiri. Aisyah r.a
berkata: “Akhlak yang mulia itu sepuluh : berkata jujur, lisan yang jujur,
menunaikan amanah, silaturrahmi, memberi upah buruh, memberi kebajikan, tidak
menjelekkan tetangga, tidak menjelekkan teman, menghormati tamu. Dan pangkal
dari semua ini adalah malu.”
Ali bin Abu Thalib berkata : “Barang
siapa yang mengenakan malu sebagai pakaiannya, orang lain tidak akan melihat
aibnya.” Dari Zaid bin Ali dari bapak-bapaknya, “Barang siapa
yang tidak malu, maka ia seorang kafir.” Abu Musa Al Asy’ari berkata, “Sungguh
aku akan masuk ke rumah yang gelap untuk memandikan mayat di dalamnya, kemudian
aku bungkukkan tulang rusukku karena malu kepada rabbku,”sebagian ulama
berkata, “Muka itu terlindungi oleh malu laksana permata yang tersembunyi
dalam wadah.”
Diterima dari Syu’bah dari Qatadah
dari Abdull bin Abu ‘Utbah dari Abu Sa’id Al Khudri berkata : “Rasulullah
SAW adalah lebih pemalu dari gadis dalam ruangan tertutup. Beliau jika tak
menyukai sesuatu, kami ketahui dari raut mukanya.”
Malu itu bagian
dari iman, sedang iman merupakan akidah seorang muslim dan pilar kuat hidupnya.
Rasul SAW bersabda :
“Iman
itu lebh dari tujuh puluh atau lebih dari enam puluh cabang. Cabang yang paling
utama adalah la ilaha illallah dan yang paling adalah membuang duri dari jalan.
Malu merupakan suatu cabang iman”. Malu dan iman itu selalu berpasangan, jika
hilang salah satunya hilang pula yang lainnya.
Adapun faidah malu dan iman, bahwa
keduanya dapat mengajak kepada kebaikan dan menjauhkan dari keburukan. Iman
mendorong orang melaksanakan berbagai ketaatan dan menjauhi maksiat, sedang
malu menghalangi orang dari kurang bersyukur atas nikmat-nikmat nya dan dari
mengabaikan hak orang lain, sebagaiman orang malu itu sulit untuk berkata atau
berbuat buruk karena takut di cela atau di marahi orang. Karena itulah malu
merupakan kebaikan dan tak akan mendatangkan kecuali kebaikan. Rasul SAW
bersabda dalam hadist shahihnya “Malu itu tak mendatangkan kecuali
kebaikan.”
Malu tak akan menghambat seorang
muslim untuk berkata yang benar, menyuruh kebaikan dan melarang kemungkaran
atau menuntut ilmu. Usamah bin Zaid, kekasih Rasul SAW. Pernah mencampuri
urusan hukum pada beliau, tetapi akhlak malu tak menghentikan beliau untuk
berkata tegas kepada Usamah, ‘’Apa kamu mau mencampuri salah satu hukum
Allah ya Usamah ?’’ Demi Allah, seandainya Fatimah bin Muhammad ini mencuri
niscaya aku potong tangannya !”
Malu juga tak menghentikan Ummu
Sulaiman Al Anshariyah bertanya kepada Rasul SAW : “Ya Rasulullah,
sesungguhnya Allah itu tidak malu terhadap kebenaran. Apakah wajib mandi bagi
perempuan bila bermimpi ? “Nabi SAW menjawab, ‘’Ya bila ia melihat air mani. “
Malu tidak sekedar berarti menutup
aurat, tidak mengurangi kewajiban, tidak mengingkari kebaikan, tidak berkata
jelek kepada orang lain dan tidak memperlihatkan mereka kepada yang tak
disukainya, tetapi juga malu kepada sang pencipta, karena itu jangan berkurang
dalam ketaatan, dan dalam bersyukur atas segala nikmatnya. Rasul SAW bersabda :
“Allah
itu lebih berhak disikapi malu dari pada manusia.”
Bila seseorang menerima sedikit saja
dari temannya, maka ia malu berlaku buruk kepada temannya itu, apalagi jika
menerima nikmat begitu melimpah dari Rabb-nya tentu ia akan malu berbuat dosa
kepadanya. Maka kepada setiap muslim hendaklah menjauhkan lisannya dari larut
dalam kebatilan, matanya dari melihat aurat dan telinganya dari mencuri rahasia
saudaranya. Begitu pula hendaklah menjauhkan perutnya dari makanan haram, dan
hendaklah menggunakan waktunya dalam ridha Allah serta mencari pahalanya.
Dengan cara ini ia sudah malu kepada Allah sebenar-benarnya malu, maka atas
dasar ini pula malu itu merupakan agama.
Malu
adalah bagian yang paling urgen dari keimanan, Marilah kita berintropeksi diri.
Di manakah akhlak malu kita?. Sesungguhnya kita tidak dapat berbakti kepada
kedua orang tua kita, bertaubat kepada Allah, melaksanakan ibadah haji, umrah,
bersedekah, menjauhi kebohongan, atau berkeinginan kuat untuk taat kepada Allah
SWT, kecuali kita mempunyai rasa malu. Kita malu kepada Allah karena
bergelimang dosa, lalu kita malu untuk berjumpa dengannya. Berbaktilah kepada
kedua orang tua, menghadaplah kepada Allah, bersedekahlah dan beristiqamahlah.
Nabi SAW bersabda : “sesungguhnya
jika ingin menghancurkan seorang hambanya, pasti ia mencabut rasa malunya, maka
jika telah dicabut rasa malunya, kamu tidak akan menjumpainya lagi kecuali ia
membenci dan dibenci, dan jika engkau tidak menjumpainya kecuali ia membenci
dan dibenci, dicabut rasa amanah darinya, maka jika dicabut rasa amanah
darinya, engkau tidak menjumpainya kecuali ia khianat dan mengkhianati, dan
jika engkau tidak menjumpainya kecuali ia khianat dan mengkhianati dicabutlah
kasih sayang darinya, jika kasih sayang dicabut darinya maka engkau tidak
menjumpainya kecuali ia dikutuk dan dilaknat, dan jika engkau tidak
menjumpainya kecuali ia dikutuk dan dilaknat maka dicabutlah buhul keislaman
darinya.”(H.R Ibnu Majah no.4054)
Itulah awal dari kehancuran dimulai
dengan dicabutnya rasa malu, subhanallah, ketika dijalan kita menjumpai
orang-orang tidak mempunyai rasa malu, kita sendiri malu dengan perbuatan
mereka, sedangkan mereka bersikap acuh terhadap perbuatan yang dilakukannya.
Fathimah binti Utbah bin Rabi’ah
mendatangi Rasulullah SAW karena ia hendak masuk islam. Saat itu terdapat
Aisyah r.a, maka Nabi SAW bersabda : “Ya Fathimah, berbaiatlah kepadaku,
jangan engkau menyekutu Allah sedikit pun, jangan mencuri, apalagi sampai
berbuat zina.” Ketika Fathimah mendengar kata “zina” ia menutupi wajahnya
dengan tangannya disebabkan malu. Rasulullah SAW merasa heran dengan sikap yang
diperlihatkan oleh Fathimah tersebut, lalu Aisyah r.a berkata : “Ya
Fathimah, berbaiatlah engkau, karena seluruh wanita telah berbaiat tentang hal
itu.” Maka Fathimah pun berbaiat.
Aisyah r,a berkata, “saya
memasuki rumahku di dalamnya terdapat makam Rasulullah SAW dan Abu Bakar r.a
aku berkata pada diriku sendiri (Ayahku dan Suamiku), lalu aku menanggalkan
bajuku. Ketika Umar bin Khaththab r.a disemayamkan di samping Rasulullah SAW
dan ayahku, aku jadi malu untuk menanggalkan bajuku dan semakin kupertebal
dalam memakai baju, karena aku malu terhadap umar bin Al Khaththab.” Jangan
heran, karena hati itu hidup dan mempunyai rasa malu, akan tetapi lihat pada
rasa malunya Aisyah r.a yang malu kepada makam Umar.
Nabi SAW bersabda :”Apakah saya
tidak malu terhadap Ustman? Padahal malaikat pun malu kepadanya.”(H.R Muslim
no.6159 dan Ahmad: V/62) Sampai malaikat pun malu terhadapnya, disebabkan
rasa malu dan akhlak yang dimilikinya, siapakah diantara kita yang memiliki
seperempat rasa malu yang dimiliki Ustman r.a ? atau sampai sepersepuluh ?.
Demi Allah, kita sangat memimpikan dapat melihat langsung sosok kepribadian
Ustman r.a. Ya Allah, masukkanlah kami kedalam syurga dan jadikanlah kami
termasuk orang-orang yang dapat melihatnya. Tirulah beliau, walaupun kita tidak
dapat merealisasikan akhlaknya secara utuh, karena, meniru akhlak orang-orang
yang mulia adalah sebuah kemenangan.
2.2
Jenis dan Sifat Rasa Malu
Para Ulama berkata “Ketahuilah bahwa
Allah SWT mengkategorikan rasa malu itu kedalam enam kiteria” yaitu :
1. Malu
Melakukan Tindakan Pidana
Malu
untuk melakukan tindak pidana berarti ia tidak berani untuk beraksi melakukan
berbagai motif kriminalitas. Sebagaiman rasa malunya Nabi Adam a.s ketika ia
makan buah terlarang, ia terus berlari bersama istrinya mengintari syurga,
kemudian Allah SWT menegurnya,“ Hendak kemanakah engkau wahai Adam, apakah
engkau akan lari dariku ? ”Tidak, wahai Rabbku, bahkan aku malu terhadapmu ,
jawab Adam a.s.
Apakah
hal seperti ini pernah terjadi pada diri kita, ketika kita tidak dapat tidur
disebabkan malu kepada Allah karena melakukan kemaksiatan terhadapnya .
2. Malu
Karena Lalai
Yang
dimaksud dengan malu karena lalai adalah malu yang timbul saat seseorang tidak
beribadah kepada Allah dengan semestinya. Siapakah yang dapat beribadah kepada
Allah secara maksimal ? pasti kita tidak menemukan orangnya. Hal ini disebabkan
karena kelalaian kita. Sebagaiman Nabi SAW bersabda :”Langit itu bergemuruh
dan telah menjadi suatu keniscayaan langit itu akan selalu bergemuru. Jarak
langit tersebut hanyalah tiga tapak jari jemari, kecuali malaikat itu tetap
sujud dan rukuk atau tetap beribadah kepada Allah. Jika datang hari kiamat
mereka berkata ‘Maha suci Engkau, kami tidak dapat menyembahmu semaksimal
mungkin.”(H.R Ahmad : V/173)
Sebelum
ini, apakah kita pernah merasakan kelalaian itu ? apakah kita malu
kepadanya subhanallah, tidak akan
merasakan perbuatan ini kecuali orang yang pernah merasakan kegetiran. Setiap
kali ketaatan kita kepada Allah bertambah, maka bertambah pula rasa malu yang
kita rasakan terhadapnya. Setiap kali keimanan kita bertambah, maka bertambah
pula rasa malu kita kepadanya, sungguh, malu Karena lalai tidak ada
habis-habisnya.
3. Malu
Atas Nikmat Allah
Hal
ini biasa terjadi karena semata-mata kucuran nikmat Allah untuk kita yang tiada
henti-hentinya. Tapi, kita tidak tahu bagaimana bersyukur kepadanya serta malu
atas nikmat darinya, sebagaimana malunya Nabi SAW ketika ia berdoa seraya
berkata :”saya tidak dapat menghitung pujian untukmu sebagaiman Engkau
memuji terhadap diriku.”(H.R Ahmad : VI/51)
Tidakkah
sebelumnya, kita merasa hal seperti ini ? dan dari kenikmatan Allah yang
dilimpahkan kepada diri kita, seharusnya kita hendaklah malu terhadapnya karena
minimnya tanda bersyukur kita kepada Allah.
4. Malu
Dalam Beribadah
Yaitu
malunya seorang hamba yang tahu serta taat terhadap pelindungnya. Ia tidak akan
menolak perintahnya. Sebagaimana malunya Nabi SAW ketika arah kiblat masih
menghadap ke Masjid Al-Aqsha. Saat Nabi SAW begitu ingin agar arah kiblat
menghadap ke Ka’ba, maka apakah Nabi SAW berkata : ‘’wahai Rabbku, pindahkanlah
arah kiblat ini ?”
Tidak,
demi Allah…itulah bentuk rasa malu seorang hamba. Allah SWT berfirman :
‘’sungguh kami (sering) melihat mukamu menegadah ke langit.” (Al-Baqarah : 144).
Saat itu Nabi SAW mengarahkan kedua sorot matanya ke langit. Beliau tidak
berbicara sepatah kata pun karena malu kepada Allah SWT. Sungguh, Nabi SAW
adalah orang yang sangat pemalu melebihi gadis perawan, siapakah orang yang
ibadahnya melebihi Rasulullah SAW, sehingga mempunyai rasa malu melebihi yang
seperti ini .
5. Malu
Karena Cinta
Pembahasan
masalah yang satu ini tidak perlu di perdebatkan tetapi sebaiknya kita
mendalami serta menghayatinya. Maka, bukalah hati kita untuk Allah. Karena
kecintaan kita yang luar biasa kepada Allah, pasti kita akan malu terhadapnya.
Bahkan, kita mungkin sampai menitikkan air mata.
Dari
rasa malu Nabi SAW dan kecintaannya yang luar biasa kepada Allah, beliau berdoa
: “Aku memohon cinta mu dan cinta orang yang mencintai mu serta kecintaan
terhadap amal yang dapat mendekatkan ku kepada cinta mu.”(H.R At-Tirmidzi
no.3491).
Coba
dan berusahalah, serta tingkatkan ketaatan, pasti kita akan menemukan cinta
Allah dalam hati sanubari, dan saat itulah kita akan mempunyai rasa malu
kepadanya. Itulah rasa yang sulit untuk diungkapkan.
6. Malu
Terhadap Keagungan Allah
Itulah
rasa malu yang terpancar dari keagungan Allah semata, sebagaiman malunya Jibril
dla perjalanan Isra’ dan Mikraj ketika sampai kelangit tujuh. Ketika Nabi SAW
akan memasuki Sidratul Muntaha bersama Jibril, mendadak Jibril menghentikan
langkahnya. Nabi SAW menceritakan, ‘’Aku menengok ke arah Jibril. Ternyata
ia ibarat potongan kain yang robek-robek karena takut kepada Allah serta malu
dengan nya, disebabkan ia merasakan akan kebesaran serta keagungannya.’’
Jadi,
malu aan menjadikan kita berfikir seribu kali ketika hendak melakukan maksiat,
karena jika kita melakukan maksiat berarti kita menentang keagungannya.
2.3
Bidang-Bidang Dari Akhlak Malu
Malu itu
mempunya bidang-bidang , diantaranya :
·
Malu dalam
berbicara. Artinya hendaklah seseorang muslim membersihkan lisannya dari bicara
kotor atau menceritakan aib saudaranya.
“Tidak
ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan
dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf.” (Q.S
An Nisaa’ : 114)
Rasulullah
SAW bersabda : “Bukan seorang mukmin, yang suka melukai, pengutuk, penjahat
dan pencetus perkataan kotor.”
Kemudian
hendaklah seorang muslim sederhana dalam berbicara atau jangan banak bicara
yang terkadang dicampuri riya’. Rasulullah SAW bersabda : “Orang muslim itu
orang yang muslim-muslim lainnya selamat dari lisan dan tangannya. “
Termasuk
malu pula jika seseorang muslim malu di bayang-bayangi keburukan. Karena itu
hendaklah menjaga apa-apa yang di dengarnya agar tetap baik.
·
Malu itu bukan
takut atau ketakutan, tetapi merupakan bentuk keberanian yang sangat tinggi.
Ada perbedaan antara malu dan segan. Segan itu terjadi pada kebaikan dan
keburukan, terkadang menyeret pada keadaan buruk. Sedangkan malu tak terjadi
kecuali pada aturan menurut syari’ah. Maka malu itu bukan kepada kebathilan,
dan tak ada tempat malu pada manusia jika sedang sesat sebagaimana tak ada
tempat baginya ketika seseorang membela kebenaran. “Dan Allah tidak malu
(menerangkan) yang benar. “(Q.S Al Ahzab : 53).
2.4
Perbedaan Antara Sikap Malu dan Tersipu
Banyak orang
salah paham bahwa malu itu berarti, merendah atau pun tersipu. Akan tetapi,
sebenarnya disana terdapat perbedaan yang amat mendasar antara malu dan tersipu
itu. Tersipu sebagaimana yang di definisikan oleh pakar ahli jiwa adalah sikap
gagap yang dialami oleh seseorang karena kondisi tertentu. Seperti ketika
seorang guru bertanya kepada muridnya, maka kita akan melihat si murid tersebut
gagap dan tidak dapat mengutarakan pendapatnya dengan jelas.
Sikap tersipu disebabkan oleh
kebodohan atau lemah kepribadiannya, sehingga ia menjadi pribadi yang rapuh.
Akan tetapi malu mempunyai pengertian sebaliknya, karena malu itu sebuah
refleksi dari kepribadian yang penuh percaya diri. Ia akan merasakan sebuah
kepribadian yang bermartabat, karena mampu menghindari perbuatan negatif.