Translate

Powered By Blogger

Selasa, 02 Desember 2014

Jadilah wanita positif



Ada kecendrungan pada sebagian wanita untuk mengartikan emansipasi sebagai kesamaa dalam segala hal dengan pria. mereka mencampuradukkan pengertian "kesamaan" dengan "kesederajatan". padahal, kesederajatanlah yang pas buat wanita. wanita tidak mungkin sama dengan pria, karena keduanya di rancang berbeda oleh penciptanya. karenanya, perbedaan ini sejalan pula dengan perbedaan peran antara wanita dengan pria, sesuai fitrah (fisik dan psikisnya). jadi, tak adil bila wanita dan pria menuntut peran yang sama, karena fitrah mereka pun berbeda.

Perbedaan Wanita dengan Pria
Secara fisik wanita berbeda dengan pria. Itu bias di lihat sejak masa kelahiran, bayi laki-laki lebih berat dari pada bayi perempuan. Menginjak akhil baligh atau dewasa, wanita mempunyai tonjolan di sekitar tubuhnya di bandingkan dengan pria, tubuh pria lebih banyak memiliki kadar air, yakni sekitar 60-70 persen, sementara tubuh wanita hanya 50-60 persen. Itu sebabnya pria lebih mampu mencairkan minuman keras dan menunda pengaruhnya.
            Dalam soal lemak, wanita memiliki jaringan yang lebih besar, sekitar 25 persen, sedangkan pria 15 pesen. Persentase lemak itu memudahkan wanita untuk berenang, hanya dengan sedikit usaha, karena lebih ringan dalam air. Pria mempunyai kecendrungan buta warna, sementara wanita tidak. Hanya 5 persen dari penderita encok adalah wanita, dan wanita berusia lebih lama di hampir semua Negara di dunia.
            Wanita dan pria pun memiliki perbedaan baik secara biologis maupun struktur otak. Secara biologis pria lebih agresif karena adanya hormone testosterone, struktur otak yang berbeda membuat wanita lebih unggul secara verbal, sedangkan pria mempunyai superioritas ruang. Berdasarkan perbedaan itu, wanita lebih berbakat dalam bidang bahasa, dan pria lebih berbakat dalam matematika dan ilmu ukur.
            Akhirnya sosialisasi, terutama dalam keluarga, menentukan dan mempertegas perbedaan di antara dua jenis kelamin yang berbeda ini. Sosialisasi keluarga mengjarkan, anak lelaki tak bak menangis, anak perempuan tidak pantas bermain bola, mobil-mobilan atau pistol-pistolan. Perbedaan lingkungan ini pada titik selanjutnya menciptakan identitas atau konsep diri yang berbeda antara wanita dan pria.. karenanya, bilaada wanita kelaki-lakian atau lelaki kewanita-wanitaan di anggap abnormal. Menjadi homoseksual dan lesbian di anggap sebagai pengkhianatan diri.
            Karena perbedaan biologis dan sosialisasi tadi, maka wanita memiliki sifat merawat dan mengasuh (naturance), yang merupakan fitrah atau kodrat alaminya. Jadi, bila ada wanita yang tak ingin menjadi seorang ibu, dengan kata lain ia enggan mempunyai anak serta tak mau merawatnya sama saja dengan mengingkari kodratnya.   
            Disisi lain, perilaku wanita yang demikian bukan berarti bahwa pria mempunyai alasan untuk lepas tanggung jawab dalam merawat dan mengasuh anak-anaknya. Nabi Muhammad SAW yang menjadi teladan kaum muslim dikenal melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan wanita. Seperti menjahit bajunya yang robek. Sedangkan Siti Aisyah justru lebih dikenal sebagai pencari dan pecinta ilmu, bukan tukang masak. Tetapi dalam merawat anak wanitalah yang terpenting di butuhkan. Tanpa naluri keibuannya, tentu, bangsa manusia telah punah sejak beberapa abad lalu.

Tiga Tipe Wanita
Emansipasi kerap di artikan sebagai pembebasan atau pemerdekaan. Istiah ini mengingatkan kita pada pergerakan wanita (women’s lib) di Amerika serikat. Di mulai sejak 1960-an. Gerakan itu bertujuan agar wanita mandiri. Tak berfgantung pada pria dan memberontak pada dominasi pria. Perjuangan yang demikian, sebenarnya salak kaprah. Karena, sepanjang sejarah manusia tak akan pernah bebas secara mutlak. Wanita dan pria di ciptakan bukanlah untuk saling bersaing, melainkan untuk saling melengkapi. Qur’an menyebutkan; “wanita adalah pakaian buat pria dan pria pun pakaian buat wanita” (Al-bqarah; 187).
Di Indonesia terdapat tiga golongan wanita dalam memandang emansipasi.
·         Wanita pembebas : golongan ini memandang pria sebagai saingan, bahkan musuh dalam soal karier dan kerja. Dalam berhubungan dengan pria dan berkeluarga, tipe wanita pembebas amat dominan, sehingga suami akan manut terkadang takut terhadap istrinya. Ia lebih menyukai karier dan kemandirian, sehingga bila pernikahan itu akan menghalanginya dalam berkarier maka si wanita ini memilih tidak menikah sama sekali. Ia beranggapan, kemunduran wanita dalam berbagai bidang juga dalam memandang perbedaan fisik (wanita lebih lemah dari pada pria) adalah akibat dominasi dan pembatasan yang di berlakukan pria. Meskipun jumlahnya tidak banyak, di Negara kita juga terdapat wanita dengan tipe ini .
·         Wanita loyo : wanita tipe ini merupakan kebalikan dari tipe pertama. Ia submisif dan tak bias mandiri, segala keputusannya bergantung pada pria atau suaminya, dan wanita seperti ini punya perasaan rendah diri terhadap lelaki. Namu begitu, wanita tipe ini bias menjadi istri yang baik, walau ia tak kreatif dan tak punya inisiatif dalam memperkaya kehidupan dirinya.
·         Dan yang terakhir adalah wanita positif, wanita tipe ini merupakan golongan pertengahan, antara tipe pembebas dan loyo. Wanita positif memahami bahwa fitrah kaumnya berbeda dengan fitrah kaum pria. Ia menganggap, bukanlah kesuksesan atau kebahagian bila ia harus meninggalkan fitrahnya, terutama fitrah merawat dan mengasuh anak-anaknya. Ia pun mengejar pendidikan tinggi, tapi tidak ngotot menggunakan pendidikannya untuk melulu berkarier. Baginya cukuplah bila ia menerapkan pendidikannya secara kreatif dalam keluarga. Kalau pun ia berkarier, maka wanita positif ini akan mencari posisi yang memungkinkannya tak kehilangan nalurinya sebagai wanita atau istri dan sebagai ibu, misalnya sebagai guru, dosen, atau konsultan. Baginya, keluarga adalah faktor yang terpenting.
Walhasil, wanita positif selalu berpikir untuk memberikan dorongan, semangat, dan keberanian kepada uaminya dalam berkegiatan. Bukan untuk menyainginya. Sehebat, apa pun seorang lelaki, kehebatannya itu sedikit banyak pasti berkat campur tangan seorang wanita, apakah itu ibunya atau istrinya, atau kedua-duanya.

Referensi : Deddy Mulyana