Translate

Powered By Blogger

Rabu, 04 Juni 2014

Cerminan Akhlak Malu



2.1 Pengertian Akhlak Malu (Al-Haya’)
            Kata malu dalam bahasa Arab adalah al-haya’ yang berarti hidup. Hati yang hidup tentu orangnya pemalu karena ia menjadi pencegah setiap keburukan yang merusak hati itu sendiri. Aisyah r.a berkata: “Akhlak yang mulia itu sepuluh : berkata jujur, lisan yang jujur, menunaikan amanah, silaturrahmi, memberi upah buruh, memberi kebajikan, tidak menjelekkan tetangga, tidak menjelekkan teman, menghormati tamu. Dan pangkal dari semua ini adalah malu.”
            Ali bin Abu Thalib berkata : “Barang siapa yang mengenakan malu sebagai pakaiannya, orang lain tidak akan melihat aibnya. Dari Zaid bin Ali dari bapak-bapaknya, “Barang siapa yang tidak malu, maka ia seorang kafir.” Abu Musa Al Asy’ari berkata, “Sungguh aku akan masuk ke rumah yang gelap untuk memandikan mayat di dalamnya, kemudian aku bungkukkan tulang rusukku karena malu kepada rabbku,”sebagian ulama berkata, “Muka itu terlindungi oleh malu laksana permata yang tersembunyi dalam wadah.”
            Diterima dari Syu’bah dari Qatadah dari Abdull bin Abu ‘Utbah dari Abu Sa’id Al Khudri berkata : “Rasulullah SAW adalah lebih pemalu dari gadis dalam ruangan tertutup. Beliau jika tak menyukai sesuatu, kami ketahui dari raut mukanya.”
            Malu itu bagian dari iman, sedang iman merupakan akidah seorang muslim dan pilar kuat hidupnya. Rasul SAW bersabda :
“Iman itu lebh dari tujuh puluh atau lebih dari enam puluh cabang. Cabang yang paling utama adalah la ilaha illallah dan yang paling adalah membuang duri dari jalan. Malu merupakan suatu cabang iman”. Malu dan iman itu selalu berpasangan, jika hilang salah satunya hilang pula yang lainnya.
            Adapun faidah malu dan iman, bahwa keduanya dapat mengajak kepada kebaikan dan menjauhkan dari keburukan. Iman mendorong orang melaksanakan berbagai ketaatan dan menjauhi maksiat, sedang malu menghalangi orang dari kurang bersyukur atas nikmat-nikmat nya dan dari mengabaikan hak orang lain, sebagaiman orang malu itu sulit untuk berkata atau berbuat buruk karena takut di cela atau di marahi orang. Karena itulah malu merupakan kebaikan dan tak akan mendatangkan kecuali kebaikan. Rasul SAW bersabda dalam hadist shahihnya “Malu itu tak mendatangkan kecuali kebaikan.”
            Malu tak akan menghambat seorang muslim untuk berkata yang benar, menyuruh kebaikan dan melarang kemungkaran atau menuntut ilmu. Usamah bin Zaid, kekasih Rasul SAW. Pernah mencampuri urusan hukum pada beliau, tetapi akhlak malu tak menghentikan beliau untuk berkata tegas kepada Usamah, ‘’Apa kamu mau mencampuri salah satu hukum Allah ya Usamah ?’’ Demi Allah, seandainya Fatimah bin Muhammad ini mencuri niscaya aku potong tangannya !”
            Malu juga tak menghentikan Ummu Sulaiman Al Anshariyah bertanya kepada Rasul SAW : “Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah itu tidak malu terhadap kebenaran. Apakah wajib mandi bagi perempuan bila bermimpi ? “Nabi SAW menjawab, ‘’Ya bila ia melihat air mani. “
            Malu tidak sekedar berarti menutup aurat, tidak mengurangi kewajiban, tidak mengingkari kebaikan, tidak berkata jelek kepada orang lain dan tidak memperlihatkan mereka kepada yang tak disukainya, tetapi juga malu kepada sang pencipta, karena itu jangan berkurang dalam ketaatan, dan dalam bersyukur atas segala nikmatnya. Rasul SAW bersabda :
“Allah itu lebih berhak disikapi malu dari pada manusia.”
            Bila seseorang menerima sedikit saja dari temannya, maka ia malu berlaku buruk kepada temannya itu, apalagi jika menerima nikmat begitu melimpah dari Rabb-nya tentu ia akan malu berbuat dosa kepadanya. Maka kepada setiap muslim hendaklah menjauhkan lisannya dari larut dalam kebatilan, matanya dari melihat aurat dan telinganya dari mencuri rahasia saudaranya. Begitu pula hendaklah menjauhkan perutnya dari makanan haram, dan hendaklah menggunakan waktunya dalam ridha Allah serta mencari pahalanya. Dengan cara ini ia sudah malu kepada Allah sebenar-benarnya malu, maka atas dasar ini pula malu itu merupakan agama.[1]
           
Malu adalah bagian yang paling urgen dari keimanan, Marilah kita berintropeksi diri. Di manakah akhlak malu kita?. Sesungguhnya kita tidak dapat berbakti kepada kedua orang tua kita, bertaubat kepada Allah, melaksanakan ibadah haji, umrah, bersedekah, menjauhi kebohongan, atau berkeinginan kuat untuk taat kepada Allah SWT, kecuali kita mempunyai rasa malu. Kita malu kepada Allah karena bergelimang dosa, lalu kita malu untuk berjumpa dengannya. Berbaktilah kepada kedua orang tua, menghadaplah kepada Allah, bersedekahlah dan beristiqamahlah.
            Nabi SAW bersabda : “sesungguhnya jika ingin menghancurkan seorang hambanya, pasti ia mencabut rasa malunya, maka jika telah dicabut rasa malunya, kamu tidak akan menjumpainya lagi kecuali ia membenci dan dibenci, dan jika engkau tidak menjumpainya kecuali ia membenci dan dibenci, dicabut rasa amanah darinya, maka jika dicabut rasa amanah darinya, engkau tidak menjumpainya kecuali ia khianat dan mengkhianati, dan jika engkau tidak menjumpainya kecuali ia khianat dan mengkhianati dicabutlah kasih sayang darinya, jika kasih sayang dicabut darinya maka engkau tidak menjumpainya kecuali ia dikutuk dan dilaknat, dan jika engkau tidak menjumpainya kecuali ia dikutuk dan dilaknat maka dicabutlah buhul keislaman darinya.”(H.R Ibnu Majah no.4054)
            Itulah awal dari kehancuran dimulai dengan dicabutnya rasa malu, subhanallah, ketika dijalan kita menjumpai orang-orang tidak mempunyai rasa malu, kita sendiri malu dengan perbuatan mereka, sedangkan mereka bersikap acuh terhadap perbuatan yang dilakukannya.
            Fathimah binti Utbah bin Rabi’ah mendatangi Rasulullah SAW karena ia hendak masuk islam. Saat itu terdapat Aisyah r.a, maka Nabi SAW bersabda : “Ya Fathimah, berbaiatlah kepadaku, jangan engkau menyekutu Allah sedikit pun, jangan mencuri, apalagi sampai berbuat zina.” Ketika Fathimah mendengar kata “zina” ia menutupi wajahnya dengan tangannya disebabkan malu. Rasulullah SAW merasa heran dengan sikap yang diperlihatkan oleh Fathimah tersebut, lalu Aisyah r.a berkata : “Ya Fathimah, berbaiatlah engkau, karena seluruh wanita telah berbaiat tentang hal itu.” Maka Fathimah pun berbaiat.
            Aisyah r,a berkata, “saya memasuki rumahku di dalamnya terdapat makam Rasulullah SAW dan Abu Bakar r.a aku berkata pada diriku sendiri (Ayahku dan Suamiku), lalu aku menanggalkan bajuku. Ketika Umar bin Khaththab r.a disemayamkan di samping Rasulullah SAW dan ayahku, aku jadi malu untuk menanggalkan bajuku dan semakin kupertebal dalam memakai baju, karena aku malu terhadap umar bin Al Khaththab.” Jangan heran, karena hati itu hidup dan mempunyai rasa malu, akan tetapi lihat pada rasa malunya Aisyah r.a yang malu kepada makam Umar.
            Nabi SAW bersabda :”Apakah saya tidak malu terhadap Ustman? Padahal malaikat pun malu kepadanya.”(H.R Muslim no.6159 dan Ahmad: V/62) Sampai malaikat pun malu terhadapnya, disebabkan rasa malu dan akhlak yang dimilikinya, siapakah diantara kita yang memiliki seperempat rasa malu yang dimiliki Ustman r.a ? atau sampai sepersepuluh ?. Demi Allah, kita sangat memimpikan dapat melihat langsung sosok kepribadian Ustman r.a. Ya Allah, masukkanlah kami kedalam syurga dan jadikanlah kami termasuk orang-orang yang dapat melihatnya. Tirulah beliau, walaupun kita tidak dapat merealisasikan akhlaknya secara utuh, karena, meniru akhlak orang-orang yang mulia adalah sebuah kemenangan.[2]

2.2 Jenis dan Sifat Rasa Malu
            Para Ulama berkata “Ketahuilah bahwa Allah SWT mengkategorikan rasa malu itu kedalam enam kiteria” yaitu :
1.      Malu Melakukan Tindakan Pidana
Malu untuk melakukan tindak pidana berarti ia tidak berani untuk beraksi melakukan berbagai motif kriminalitas. Sebagaiman rasa malunya Nabi Adam a.s ketika ia makan buah terlarang, ia terus berlari bersama istrinya mengintari syurga, kemudian Allah SWT menegurnya,“ Hendak kemanakah engkau wahai Adam, apakah engkau akan lari dariku ? ”Tidak, wahai Rabbku, bahkan aku malu terhadapmu , jawab Adam a.s.
Apakah hal seperti ini pernah terjadi pada diri kita, ketika kita tidak dapat tidur disebabkan malu kepada Allah karena melakukan kemaksiatan terhadapnya .


2.      Malu Karena Lalai
Yang dimaksud dengan malu karena lalai adalah malu yang timbul saat seseorang tidak beribadah kepada Allah dengan semestinya. Siapakah yang dapat beribadah kepada Allah secara maksimal ? pasti kita tidak menemukan orangnya. Hal ini disebabkan karena kelalaian kita. Sebagaiman Nabi SAW bersabda :”Langit itu bergemuruh dan telah menjadi suatu keniscayaan langit itu akan selalu bergemuru. Jarak langit tersebut hanyalah tiga tapak jari jemari, kecuali malaikat itu tetap sujud dan rukuk atau tetap beribadah kepada Allah. Jika datang hari kiamat mereka berkata ‘Maha suci Engkau, kami tidak dapat menyembahmu semaksimal mungkin.”(H.R Ahmad : V/173)
Sebelum ini, apakah kita pernah merasakan kelalaian itu ? apakah kita malu kepadanya  subhanallah, tidak akan merasakan perbuatan ini kecuali orang yang pernah merasakan kegetiran. Setiap kali ketaatan kita kepada Allah bertambah, maka bertambah pula rasa malu yang kita rasakan terhadapnya. Setiap kali keimanan kita bertambah, maka bertambah pula rasa malu kita kepadanya, sungguh, malu Karena lalai tidak ada habis-habisnya.
3.      Malu Atas Nikmat Allah
Hal ini biasa terjadi karena semata-mata kucuran nikmat Allah untuk kita yang tiada henti-hentinya. Tapi, kita tidak tahu bagaimana bersyukur kepadanya serta malu atas nikmat darinya, sebagaimana malunya Nabi SAW ketika ia berdoa seraya berkata :”saya tidak dapat menghitung pujian untukmu sebagaiman Engkau memuji terhadap diriku.”(H.R Ahmad : VI/51)
Tidakkah sebelumnya, kita merasa hal seperti ini ? dan dari kenikmatan Allah yang dilimpahkan kepada diri kita, seharusnya kita hendaklah malu terhadapnya karena minimnya tanda bersyukur kita kepada Allah.
4.      Malu Dalam Beribadah
Yaitu malunya seorang hamba yang tahu serta taat terhadap pelindungnya. Ia tidak akan menolak perintahnya. Sebagaimana malunya Nabi SAW ketika arah kiblat masih menghadap ke Masjid Al-Aqsha. Saat Nabi SAW begitu ingin agar arah kiblat menghadap ke Ka’ba, maka apakah Nabi SAW berkata : ‘’wahai Rabbku, pindahkanlah arah kiblat ini ?”
Tidak, demi Allah…itulah bentuk rasa malu seorang hamba. Allah SWT berfirman : ‘’sungguh kami (sering) melihat mukamu menegadah ke langit.” (Al-Baqarah : 144). Saat itu Nabi SAW mengarahkan kedua sorot matanya ke langit. Beliau tidak berbicara sepatah kata pun karena malu kepada Allah SWT. Sungguh, Nabi SAW adalah orang yang sangat pemalu melebihi gadis perawan, siapakah orang yang ibadahnya melebihi Rasulullah SAW, sehingga mempunyai rasa malu melebihi yang seperti ini .
5.      Malu Karena Cinta
Pembahasan masalah yang satu ini tidak perlu di perdebatkan tetapi sebaiknya kita mendalami serta menghayatinya. Maka, bukalah hati kita untuk Allah. Karena kecintaan kita yang luar biasa kepada Allah, pasti kita akan malu terhadapnya. Bahkan, kita mungkin sampai menitikkan air mata.
Dari rasa malu Nabi SAW dan kecintaannya yang luar biasa kepada Allah, beliau berdoa : “Aku memohon cinta mu dan cinta orang yang mencintai mu serta kecintaan terhadap amal yang dapat mendekatkan ku kepada cinta mu.”(H.R At-Tirmidzi no.3491).
Coba dan berusahalah, serta tingkatkan ketaatan, pasti kita akan menemukan cinta Allah dalam hati sanubari, dan saat itulah kita akan mempunyai rasa malu kepadanya. Itulah rasa yang sulit untuk diungkapkan.
6.      Malu Terhadap Keagungan Allah
Itulah rasa malu yang terpancar dari keagungan Allah semata, sebagaiman malunya Jibril dla perjalanan Isra’ dan Mikraj ketika sampai kelangit tujuh. Ketika Nabi SAW akan memasuki Sidratul Muntaha bersama Jibril, mendadak Jibril menghentikan langkahnya. Nabi SAW menceritakan, ‘’Aku menengok ke arah Jibril. Ternyata ia ibarat potongan kain yang robek-robek karena takut kepada Allah serta malu dengan nya, disebabkan ia merasakan akan kebesaran serta keagungannya.’’
Jadi, malu aan menjadikan kita berfikir seribu kali ketika hendak melakukan maksiat, karena jika kita melakukan maksiat berarti kita menentang keagungannya.[3]
2.3 Bidang-Bidang Dari Akhlak Malu
            Malu itu mempunya bidang-bidang , diantaranya  :
·         Malu dalam berbicara. Artinya hendaklah seseorang muslim membersihkan lisannya dari bicara kotor atau menceritakan aib saudaranya.
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf.” (Q.S An Nisaa’ : 114)
Rasulullah SAW bersabda : “Bukan seorang mukmin, yang suka melukai, pengutuk, penjahat dan pencetus perkataan kotor.”
Kemudian hendaklah seorang muslim sederhana dalam berbicara atau jangan banak bicara yang terkadang dicampuri riya’. Rasulullah SAW bersabda : “Orang muslim itu orang yang muslim-muslim lainnya selamat dari lisan dan tangannya. “
Termasuk malu pula jika seseorang muslim malu di bayang-bayangi keburukan. Karena itu hendaklah menjaga apa-apa yang di dengarnya agar tetap baik.
·         Malu itu bukan takut atau ketakutan, tetapi merupakan bentuk keberanian yang sangat tinggi. Ada perbedaan antara malu dan segan. Segan itu terjadi pada kebaikan dan keburukan, terkadang menyeret pada keadaan buruk. Sedangkan malu tak terjadi kecuali pada aturan menurut syari’ah. Maka malu itu bukan kepada kebathilan, dan tak ada tempat malu pada manusia jika sedang sesat sebagaimana tak ada tempat baginya ketika seseorang membela kebenaran. “Dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. “(Q.S Al Ahzab : 53).[4]





2.4 Perbedaan Antara Sikap Malu dan Tersipu
            Banyak orang salah paham bahwa malu itu berarti, merendah atau pun tersipu. Akan tetapi, sebenarnya disana terdapat perbedaan yang amat mendasar antara malu dan tersipu itu. Tersipu sebagaimana yang di definisikan oleh pakar ahli jiwa adalah sikap gagap yang dialami oleh seseorang karena kondisi tertentu. Seperti ketika seorang guru bertanya kepada muridnya, maka kita akan melihat si murid tersebut gagap dan tidak dapat mengutarakan pendapatnya dengan jelas.
            Sikap tersipu disebabkan oleh kebodohan atau lemah kepribadiannya, sehingga ia menjadi pribadi yang rapuh. Akan tetapi malu mempunyai pengertian sebaliknya, karena malu itu sebuah refleksi dari kepribadian yang penuh percaya diri. Ia akan merasakan sebuah kepribadian yang bermartabat, karena mampu menghindari perbuatan negatif.[5]


[1] Iman Abdul Mukmin Sa’aduddin, Meneladani Akhlak Nabi Membangun Kepribadian Muslim, PT Remaja Rosdakarya, Bandung : 2006, hlm.168-173
[2] Amru Khalid, Semulia Akhlak Nabi Muhammad SAW, Aqwam Jembatan Ilmu, Solo : 2002, hlm. 222-227