Translate

Powered By Blogger

Selasa, 02 Desember 2014

Jadilah wanita positif



Ada kecendrungan pada sebagian wanita untuk mengartikan emansipasi sebagai kesamaa dalam segala hal dengan pria. mereka mencampuradukkan pengertian "kesamaan" dengan "kesederajatan". padahal, kesederajatanlah yang pas buat wanita. wanita tidak mungkin sama dengan pria, karena keduanya di rancang berbeda oleh penciptanya. karenanya, perbedaan ini sejalan pula dengan perbedaan peran antara wanita dengan pria, sesuai fitrah (fisik dan psikisnya). jadi, tak adil bila wanita dan pria menuntut peran yang sama, karena fitrah mereka pun berbeda.

Perbedaan Wanita dengan Pria
Secara fisik wanita berbeda dengan pria. Itu bias di lihat sejak masa kelahiran, bayi laki-laki lebih berat dari pada bayi perempuan. Menginjak akhil baligh atau dewasa, wanita mempunyai tonjolan di sekitar tubuhnya di bandingkan dengan pria, tubuh pria lebih banyak memiliki kadar air, yakni sekitar 60-70 persen, sementara tubuh wanita hanya 50-60 persen. Itu sebabnya pria lebih mampu mencairkan minuman keras dan menunda pengaruhnya.
            Dalam soal lemak, wanita memiliki jaringan yang lebih besar, sekitar 25 persen, sedangkan pria 15 pesen. Persentase lemak itu memudahkan wanita untuk berenang, hanya dengan sedikit usaha, karena lebih ringan dalam air. Pria mempunyai kecendrungan buta warna, sementara wanita tidak. Hanya 5 persen dari penderita encok adalah wanita, dan wanita berusia lebih lama di hampir semua Negara di dunia.
            Wanita dan pria pun memiliki perbedaan baik secara biologis maupun struktur otak. Secara biologis pria lebih agresif karena adanya hormone testosterone, struktur otak yang berbeda membuat wanita lebih unggul secara verbal, sedangkan pria mempunyai superioritas ruang. Berdasarkan perbedaan itu, wanita lebih berbakat dalam bidang bahasa, dan pria lebih berbakat dalam matematika dan ilmu ukur.
            Akhirnya sosialisasi, terutama dalam keluarga, menentukan dan mempertegas perbedaan di antara dua jenis kelamin yang berbeda ini. Sosialisasi keluarga mengjarkan, anak lelaki tak bak menangis, anak perempuan tidak pantas bermain bola, mobil-mobilan atau pistol-pistolan. Perbedaan lingkungan ini pada titik selanjutnya menciptakan identitas atau konsep diri yang berbeda antara wanita dan pria.. karenanya, bilaada wanita kelaki-lakian atau lelaki kewanita-wanitaan di anggap abnormal. Menjadi homoseksual dan lesbian di anggap sebagai pengkhianatan diri.
            Karena perbedaan biologis dan sosialisasi tadi, maka wanita memiliki sifat merawat dan mengasuh (naturance), yang merupakan fitrah atau kodrat alaminya. Jadi, bila ada wanita yang tak ingin menjadi seorang ibu, dengan kata lain ia enggan mempunyai anak serta tak mau merawatnya sama saja dengan mengingkari kodratnya.   
            Disisi lain, perilaku wanita yang demikian bukan berarti bahwa pria mempunyai alasan untuk lepas tanggung jawab dalam merawat dan mengasuh anak-anaknya. Nabi Muhammad SAW yang menjadi teladan kaum muslim dikenal melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan wanita. Seperti menjahit bajunya yang robek. Sedangkan Siti Aisyah justru lebih dikenal sebagai pencari dan pecinta ilmu, bukan tukang masak. Tetapi dalam merawat anak wanitalah yang terpenting di butuhkan. Tanpa naluri keibuannya, tentu, bangsa manusia telah punah sejak beberapa abad lalu.

Tiga Tipe Wanita
Emansipasi kerap di artikan sebagai pembebasan atau pemerdekaan. Istiah ini mengingatkan kita pada pergerakan wanita (women’s lib) di Amerika serikat. Di mulai sejak 1960-an. Gerakan itu bertujuan agar wanita mandiri. Tak berfgantung pada pria dan memberontak pada dominasi pria. Perjuangan yang demikian, sebenarnya salak kaprah. Karena, sepanjang sejarah manusia tak akan pernah bebas secara mutlak. Wanita dan pria di ciptakan bukanlah untuk saling bersaing, melainkan untuk saling melengkapi. Qur’an menyebutkan; “wanita adalah pakaian buat pria dan pria pun pakaian buat wanita” (Al-bqarah; 187).
Di Indonesia terdapat tiga golongan wanita dalam memandang emansipasi.
·         Wanita pembebas : golongan ini memandang pria sebagai saingan, bahkan musuh dalam soal karier dan kerja. Dalam berhubungan dengan pria dan berkeluarga, tipe wanita pembebas amat dominan, sehingga suami akan manut terkadang takut terhadap istrinya. Ia lebih menyukai karier dan kemandirian, sehingga bila pernikahan itu akan menghalanginya dalam berkarier maka si wanita ini memilih tidak menikah sama sekali. Ia beranggapan, kemunduran wanita dalam berbagai bidang juga dalam memandang perbedaan fisik (wanita lebih lemah dari pada pria) adalah akibat dominasi dan pembatasan yang di berlakukan pria. Meskipun jumlahnya tidak banyak, di Negara kita juga terdapat wanita dengan tipe ini .
·         Wanita loyo : wanita tipe ini merupakan kebalikan dari tipe pertama. Ia submisif dan tak bias mandiri, segala keputusannya bergantung pada pria atau suaminya, dan wanita seperti ini punya perasaan rendah diri terhadap lelaki. Namu begitu, wanita tipe ini bias menjadi istri yang baik, walau ia tak kreatif dan tak punya inisiatif dalam memperkaya kehidupan dirinya.
·         Dan yang terakhir adalah wanita positif, wanita tipe ini merupakan golongan pertengahan, antara tipe pembebas dan loyo. Wanita positif memahami bahwa fitrah kaumnya berbeda dengan fitrah kaum pria. Ia menganggap, bukanlah kesuksesan atau kebahagian bila ia harus meninggalkan fitrahnya, terutama fitrah merawat dan mengasuh anak-anaknya. Ia pun mengejar pendidikan tinggi, tapi tidak ngotot menggunakan pendidikannya untuk melulu berkarier. Baginya cukuplah bila ia menerapkan pendidikannya secara kreatif dalam keluarga. Kalau pun ia berkarier, maka wanita positif ini akan mencari posisi yang memungkinkannya tak kehilangan nalurinya sebagai wanita atau istri dan sebagai ibu, misalnya sebagai guru, dosen, atau konsultan. Baginya, keluarga adalah faktor yang terpenting.
Walhasil, wanita positif selalu berpikir untuk memberikan dorongan, semangat, dan keberanian kepada uaminya dalam berkegiatan. Bukan untuk menyainginya. Sehebat, apa pun seorang lelaki, kehebatannya itu sedikit banyak pasti berkat campur tangan seorang wanita, apakah itu ibunya atau istrinya, atau kedua-duanya.

Referensi : Deddy Mulyana

Minggu, 09 November 2014

Al-Qur'an sebagai cahaya kehidupan

    Al-Qur'an kalamullah sebagai wahyu yang di turunkan oleh Allah kepada seluruh makhluk di jagat raya, yang di wahyukan kepada nabi segala penghulu alam Muhammad SAW, yang tiada keraguan sadikit pun , juga sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia dalam menjalani hidup bahagia dunia akhirat.
   Al-Qur'an menjadi cahaya bagi orang yang beriman dan bertakwa, yang haus akan rahmat kasih sayang Allah. ketika seorang muslim membaca dan menghayatinya ada rasa kenikmatan dan kekhusukan di dalam relung-relung jiwa mereka, dan menjadikan orang-orang bertakwa merasakan betapa dekatnya mereka kepada rabb semesta alam, sehingga air mata takkan mampu menggambarkan betapa dirinya rindu untuk bertemu sang maha agung nan suci , al-qur'an menjadi obat di kala mereka dilanda kegalaun hati yang di sebabkan oleh dunia yang fana ini.
   Al-Qur'an menjadi ancaman bagi orang-orang kafir dan musyrik , bagaimana jelas tergambarkan di dalam firman-firmannya bagaimana Allah menghukum mereka dengan sangat pedih kerena mereka menyekutukan dan menduakan rabb pemiliki alam semesta ini,  yang hanya kepadanya kita serahkan jiwa dan raga kita untuk menyembahnya dan mengagungkannya .tetapi walaupun mereka orang-orang kafir dan munafik itu telah membaca dan mengetahuinya namun mereka tetap ingkar kepada rabbnya karena hati mereka telah di tutupi oleh karatan-karatan yang sangat hitam, hingga neraka jahanamlah seburuk-buruk tempat kembali mereka.dan hanya Allah lah yang memberi hidayah kepada setiap manusia , hanya dia yang berhak membolak-balikkan hati seseorang karena sesungguhnya dia lah pemilik hati ini.
   Wahai kaum muslimin dan muslimah masih adakah keraguan di hatimu untuk tidak menyentuh Al-qur'an dan mempelajarinya ? bukankah engkau hidup di dunia ini hanya untuk menghrapkan cinta dan belas kasih dari rabbmu! hiasilah Al-qur'an di setiap malam dan setiap sujudmu dengan penuh pengharapan. ajarilah keluargamu, sahabatmu dan setiap kaum muslimin dan muslimah untuk senantiasa mempelajarinya dan mengamalkannya .
   Sebagaimana dalam shahih Bukhari dari sahabat Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shollallahu ‘alahi wasallam bersabda,
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
“Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari al Qur’an dan mengajarkannya”.
Disebutkan juga dalam shahih Bukhari dan Muslim, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda,
الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ وَالَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيهِ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ
“Orang yang mahir membaca al Qur’an bersama malaikat yang mulia lagi taat. Adapun orang yang membaca al Qur’an dengan terbata-bata dan berat atasnya maka baginya dua pahala”

Disebutkan dalam shahihain juga Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda,
مَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الْأُتْرُجَّةِ رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا طَيِّبٌ وَمَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي لَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ التَّمْرَةِ لَا رِيحَ لَهَا وَطَعْمُهَا حُلْوٌ
“Perumpamaan seorang muslim yang membaca al Qur’an adalah seperti buah Utrujah, baunya enak dan rasanya juga enak. Adapun perumpamaan seorang muslim yang tidak membaca al Qur’an adalah seperti buah Kurma, tidak ada baunya dan rasanya manis”.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam juga bersabda, “Bacalah al Qur’an sesungguhnya dia akan datang di hari kiamat sebagai pemberi syafaat bagi yang membacanya” [HR Muslim].

Dalam hadits lainnya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pun juga bersabda,
مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لَا أَقُولُ الم حَرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلَامٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ
“Barangsiapa membaca satu huruf dari kitabullah maka baginya sebuah kebaikan. Dan sebuah kebaikan dilipatgandakan sepuluh kalinya. Saya tidak mengatakan aliflammim sebagai satu huruf tetapi alif adalah satu huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf.” [HR Tirmidzi]

Dari Nawwas bin Sam'an ra. telah berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. bersabda, "Di hari Akhirat kelak akan didatangkan Al Qur'an dan orang yang membaca dan mengamalkannya, didahului dengan surat Al Baqarah dan Surah Ali 'Imran, kedua-duanya menjadi hujjah (pembela) orang yang membaca dan mengamalkannya." (Riwayat Muslim)

Dari Aisyah ra. telah berkata: Rasulullah saw. bersabda, "Orang yang membaca Al Qur'an dengan terbata-bata karena susah, akan mendapat dua pahala."(Riwayat Bukhari & Muslim)
Dari Abu Musa Al-Asy’ari RA, ia berkata : Telah berkata Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam :

“Perumpamaan orang mukmin yang membaca Al-Quran, bagaikan buah Utrujjah, harum baunya dan lezat rasanya. Dan perumpamaan orang mukmin yang tidak membaca AlQuran, bagaikan buah kurma, tidak harum dan rasanya manis. Perumpamaan orang munafik yang membaca AlQuran, bagaikan bunga (rihanah), harum baunya dan pahit rasanya. Dan orang munafik yang tidak membaca AlQuran bagaikan buah Handzalah, tidak harum dan rasanya pahit.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dari Umar bin al Khatthab ra. bahwa Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. bersabda,"Sesungguhnya Allah mengangkat (martabat) sebagian orang dan merendahkan sebagian lainnya dengan sebab Al Qur'an." (Riwayat Muslim)

Dari Ibnu Umar ra. dari Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. telah bersabda, "Tidak boleh iri kecuali pada dua perkara: Laki-laki yang dianugerahi (kefahaman yang sahih tentang) Al Qur'an sedang dia membaca dan mengamalkannya siang dan malam, dan laki-laki yang dianugerahi harta sedang dia menginfakkannya siang dan malam." (Riwayat Bukhari & Muslim)

Dari Barra' bin 'Azib ra. telah berkata: Seorang laki-laki membaca surat Al Kahfi dan di sisinya ada seekor kuda yang diikat dengan dua tali panjang, tiba-tiba ada awan melindunginya dan semakin mendekat dan kudanya menjauhinya. Pagi-paginya laki-laki itu mendatangi Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. dan menceritakan peristiwa tersebut, maka beliau bersabda, "Itu adalah ketenangan yang turun karena Al Qur'an." (Riwayat Bukhari & Muslim)

Dari Ibnu 'Abbas ra. beliau berkata: Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. bersabda, "Sesungguhnya orang yang tidak ada dalam dirinya sesuatu pun dari Al Qur'an laksana sebuah rumah yang runtuh." (Riwayat Tirmizi, beliau berkata: Hadits ini hasan sahih)

Dari Abdullah bin 'Amru bin Al 'Ash ra. dari Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. beliau bersabda, "Akan dikatakan kepada orang yang membaca Al Qur'an: Baca, tingkatkan dan perindah bacaanmu sebagaimana kamu memperindah urusan di dunia, sesungguhnya kedudukanmu pada akhir ayat yang engkau baca."(Riwayat Abu Daud dan Tirmizi, beliau berkata: Hadits ini hasan sahih)

Dari 'Uqbah Bin 'Amir ra. berkata; Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. keluar dan kami berada di beranda masjid. Beliau bersabda: "Siapakah di antara kalian yang tiap hari ingin pergi ke Buthan atau 'Aqiq dan kembali dengan membawa dua ekor unta yang gemuk sedang dia tidak melakukan dosa dan tidak memutuskan hubungan silaturahmi?" Kami menjawab, "Kami ingin ya Rasulullah" Lantas beliau bersabda, "Mengapa tidak pergi saja ke masjid; belajar atau membaca dua ayat Al Qur'an akan lebih baik baginya dari dua ekor unta, dan tiga ayat lebih baik dari tiga ekor unta, dan empat ayat lebih baik dari empat ekor unta, demikianlah seterusnya mengikuti hitungan unta."(Riwayat Muslim)

Dari Ibnu Mas'ud ra. bahawasanya Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. bersabda, "Yang paling layak mengimami kaum dalam shalat adalah mereka yang paling fasih membaca Al Qur'an." (Riwayat Muslim)

Dari Imran bin Hushoin bahawa beliau melewati seseorang yang sedang membaca Al Qur'an kemudian dia berdoa kepada Allah lalu ia kembali membaca, lantas dia berkata aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. bersabda, "Barangsiapa yang membaca Al Qur'an maka berdoalah kepada Allah dengan Al Qur'an karena sesungguhnya akan datang beberapa kaum yang membaca Al Qur'an dan orang-orang berdo'a dengannya."(Riwayat Tirmizi, beliau berkata : Hadits ini hasan)

“Bacalah Al-Qur’an karena Allah tidak akan menyiksa hati orang yang menjaga Al-Qur’an. Al-Qur’an itu benteng Allah; siapa yang masuk ke dalamnya akan aman. Dan berilah kabar gembira kepada siapa saja yang mencintai Al-Qur’an “(H.R Ad-Darimi)


Rabu, 24 September 2014

Benarkah, sujud wanita dalam shalat merapatkan paha dan perut


         Di sebagian masyarakat kita menyebar sebuah pemahaman, bahwa seorang wanita kala sujud dalam shalat harus merapatkan kedua pahanya serta menempelkannya dengan perut. Bahkan, di antara mereka menguatkan pemahaman cara shalat wanita seperti ini dengan sejumlah riwayat. Di antaranya :
            Pertama, hadist yang meriwayatkan dari ‘Atha bin Al-‘Ajlaan dari Abu Nadrah Al-‘Abdi dari Sa’id Al-Khudri, sahabat Nabi dari Nabi SAW beliau memerintahkan laki-laki untuk melebarkan tangan mereka dalam sujud dan memerintahkan wanita untk merapatkan tangannya ketika sujud.
            Kedua, hadist dari Abu Muti’ Al-Hakam bin ‘Abdullah Al-Balkhi dari ‘Umar bin Dharr dari Mujaahid dari Abdullah bin ‘Umar r.a yang berkata, Nab SAW bersabda, “saat seorang wanita duduk ketika shalat, dia harus merapatkan paha satu dengan yang lainnya dan ketika sujud hendaklah merapatkan perutnya di atas pahanya agar bias lebih menyembunyikan diri. Allah Ta’ala melihatnya dan berfirman, “waha para malaikat-ku, aku memanggilmu untuk jadi saksi bahwa aku telah mengampuninya’’.
            Secara umum, Rasulullah SAW telah menyampaikan tata cara sujud saat shalat. Hal ini sebagaimana yang telah di jelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ketika menjelaskan sifat shalat Nabi SAW , ‘’sujud dengan tujuh anggota tubuh, karena Nabi Muhammad SAW bersabda, ‘’kita diperintahkan sujud dengan tujuh tulang.’’ Kemudian Nabi Muhammad SAW memperincinya, ‘’Dengan dahi, dua telapak tangan, dua lutut, dan dua ujung kaki.’’ (H.R Bukhari dan Muslim)
            Berarti, seseorang sujud dengan anggota-anggota tubuh ini. Dengan dia menegakkan kedua tungkai tangan-tangannya, tidak meletakkan keduanya di lantai maupun di atas dua lututnya, sambil merenggangkan kedua lengannya dari kedua lambungnya dan merenggangkan perutnya dari kedua pahanya, sehingga posisi punggungnya terangkat ke atas.’’[1]
            Yang menjadi dasar dalam pelaksanaan ibadah shalat, cara shalat bagi wanita dan laki-laki adalah sama. Sebab, dari dalil-dalil yang ada menunjukkan hal tersebut. Nabi SAW bersabda
“shalatlah sebagaimana kamu melihat aku shalat.’’[2]
            Syaikh Al-Albani mengatakan, ‘’semua yang telah kami katakan di atas tentang cara yang Nabi SAW lakukan dalam shalat bias dipraktekkan baik itu untuk laki-laki dan wanita. Tidak ada satu rieayat pun dalam As-sunnah yang secara tegas menyatakan bahwa wanita dibedakan dari cara tersebut. Maka makna umum dari sabda Nabi SAW, ‘’shalatlah sebagaimana kamu melihat aku shalat.’’ Mencakup wanita juga.[3]
            Berkaitan dengan dua hadist di atas, Baihaqi mengatakan bahwa keduanya adalah hadist munkar dan dha’if. Setelah menyebutkan hadist yang pertama, ia mengatakan, ‘’Hadist ini munkar.’’ Sedangkan, berkaitan dengan hadist kedua, ia mengomentari, ‘’Hadist ini dha’if karena hadist ini di riwayatkan dari ‘Abu Muthi’ Al-Bakhli.[4]
            Ketika ada sebuah pertanyaan yang di sampaikan kepada syaikh Utsaimin, apakah ada perbedaan dalam cara sujud antara laki-laki dan wanita ? Beliau menjawab, ‘’Hal ini bsa dijawab dengan beberapa cara :
            Pertama, alasan ini tidak dapat menandingi keumuman teks hadist yang mana mengindikasikan bahwa wanita adalah sama dengan laki-laki dalam gerakan shalat, terlebih Nabi SAW telah bersabda, ‘’shalatlah sebaigaimana kamu melihat aku shalat.’’ Ini dimaksudkan untuk lai-laki dan wanita.
            Kedua, alasan ini bertentangan bila mana seorang wanita shalat sendirian. Sebab, yang disyariatkan bagi wanita adalah shalat sendiri di rumahnya tanpa ada laki-laki yang bukan mahramnya. Bila demikian kondisinya, maka ia tidak perlu merapatkan paha dan perutnya selama tidak ada laki-laki yang melihatnya.
            Ketiga, kalian mengatakan bahwa wanita hendaknya mengangkat tangannya dan mengangkat tangan itu lebih tidak tertutup dari pada melebarkan lengannya ketika sujud. Walau demikian, kalian malah mengatakan bahwa seorang wanita jga di sunnahkan mengangkt tangannya, sebab prinsip dasarna adalah sam antara laki-laki dan wanita.
            Pendapat yang benar adalah wanita harus melakukan gerakan yang sama dengan laki-laki dalam shalat, sehingga mereka juga harus mengangkat tangannya dan melebarkan lengannya keluar ketika sujud, meluruskan punggung rukuk, menjauhkan perutnya dari paha dan menjauhkan pahanya dari betisnya ketika sujud.[5]
Referensi : Buku Salah kaprah shalat wanita (Pengarang : Abu Hudzaifah Ath-Thalibi)

[1] Fiqhul Mar’ah Al-Muslimah, Muhammad bin shalih Al-Ustaimin, Darul Aqidah; Iskandariyah, 2007, hal. 120.
[2] Diriwayatkan oleh Bukhari, hadist no. 595.
[3] Shifat Shalatain Nabi, Muhammad Nashiruddin Al-Albani, hal. 189.
[4] Lihat : http://islamqa.com/en/ref/9276/pray
[5] Syarhul Mumti’ ‘alal Zadl Mustaqni’, Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Dar Ibnu Al-Jauzi, cet. I, 1428, III : 219 (Al-Maktabah Asy-Syamilah)

Rabu, 04 Juni 2014

Cerminan Akhlak Malu



2.1 Pengertian Akhlak Malu (Al-Haya’)
            Kata malu dalam bahasa Arab adalah al-haya’ yang berarti hidup. Hati yang hidup tentu orangnya pemalu karena ia menjadi pencegah setiap keburukan yang merusak hati itu sendiri. Aisyah r.a berkata: “Akhlak yang mulia itu sepuluh : berkata jujur, lisan yang jujur, menunaikan amanah, silaturrahmi, memberi upah buruh, memberi kebajikan, tidak menjelekkan tetangga, tidak menjelekkan teman, menghormati tamu. Dan pangkal dari semua ini adalah malu.”
            Ali bin Abu Thalib berkata : “Barang siapa yang mengenakan malu sebagai pakaiannya, orang lain tidak akan melihat aibnya. Dari Zaid bin Ali dari bapak-bapaknya, “Barang siapa yang tidak malu, maka ia seorang kafir.” Abu Musa Al Asy’ari berkata, “Sungguh aku akan masuk ke rumah yang gelap untuk memandikan mayat di dalamnya, kemudian aku bungkukkan tulang rusukku karena malu kepada rabbku,”sebagian ulama berkata, “Muka itu terlindungi oleh malu laksana permata yang tersembunyi dalam wadah.”
            Diterima dari Syu’bah dari Qatadah dari Abdull bin Abu ‘Utbah dari Abu Sa’id Al Khudri berkata : “Rasulullah SAW adalah lebih pemalu dari gadis dalam ruangan tertutup. Beliau jika tak menyukai sesuatu, kami ketahui dari raut mukanya.”
            Malu itu bagian dari iman, sedang iman merupakan akidah seorang muslim dan pilar kuat hidupnya. Rasul SAW bersabda :
“Iman itu lebh dari tujuh puluh atau lebih dari enam puluh cabang. Cabang yang paling utama adalah la ilaha illallah dan yang paling adalah membuang duri dari jalan. Malu merupakan suatu cabang iman”. Malu dan iman itu selalu berpasangan, jika hilang salah satunya hilang pula yang lainnya.
            Adapun faidah malu dan iman, bahwa keduanya dapat mengajak kepada kebaikan dan menjauhkan dari keburukan. Iman mendorong orang melaksanakan berbagai ketaatan dan menjauhi maksiat, sedang malu menghalangi orang dari kurang bersyukur atas nikmat-nikmat nya dan dari mengabaikan hak orang lain, sebagaiman orang malu itu sulit untuk berkata atau berbuat buruk karena takut di cela atau di marahi orang. Karena itulah malu merupakan kebaikan dan tak akan mendatangkan kecuali kebaikan. Rasul SAW bersabda dalam hadist shahihnya “Malu itu tak mendatangkan kecuali kebaikan.”
            Malu tak akan menghambat seorang muslim untuk berkata yang benar, menyuruh kebaikan dan melarang kemungkaran atau menuntut ilmu. Usamah bin Zaid, kekasih Rasul SAW. Pernah mencampuri urusan hukum pada beliau, tetapi akhlak malu tak menghentikan beliau untuk berkata tegas kepada Usamah, ‘’Apa kamu mau mencampuri salah satu hukum Allah ya Usamah ?’’ Demi Allah, seandainya Fatimah bin Muhammad ini mencuri niscaya aku potong tangannya !”
            Malu juga tak menghentikan Ummu Sulaiman Al Anshariyah bertanya kepada Rasul SAW : “Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah itu tidak malu terhadap kebenaran. Apakah wajib mandi bagi perempuan bila bermimpi ? “Nabi SAW menjawab, ‘’Ya bila ia melihat air mani. “
            Malu tidak sekedar berarti menutup aurat, tidak mengurangi kewajiban, tidak mengingkari kebaikan, tidak berkata jelek kepada orang lain dan tidak memperlihatkan mereka kepada yang tak disukainya, tetapi juga malu kepada sang pencipta, karena itu jangan berkurang dalam ketaatan, dan dalam bersyukur atas segala nikmatnya. Rasul SAW bersabda :
“Allah itu lebih berhak disikapi malu dari pada manusia.”
            Bila seseorang menerima sedikit saja dari temannya, maka ia malu berlaku buruk kepada temannya itu, apalagi jika menerima nikmat begitu melimpah dari Rabb-nya tentu ia akan malu berbuat dosa kepadanya. Maka kepada setiap muslim hendaklah menjauhkan lisannya dari larut dalam kebatilan, matanya dari melihat aurat dan telinganya dari mencuri rahasia saudaranya. Begitu pula hendaklah menjauhkan perutnya dari makanan haram, dan hendaklah menggunakan waktunya dalam ridha Allah serta mencari pahalanya. Dengan cara ini ia sudah malu kepada Allah sebenar-benarnya malu, maka atas dasar ini pula malu itu merupakan agama.[1]
           
Malu adalah bagian yang paling urgen dari keimanan, Marilah kita berintropeksi diri. Di manakah akhlak malu kita?. Sesungguhnya kita tidak dapat berbakti kepada kedua orang tua kita, bertaubat kepada Allah, melaksanakan ibadah haji, umrah, bersedekah, menjauhi kebohongan, atau berkeinginan kuat untuk taat kepada Allah SWT, kecuali kita mempunyai rasa malu. Kita malu kepada Allah karena bergelimang dosa, lalu kita malu untuk berjumpa dengannya. Berbaktilah kepada kedua orang tua, menghadaplah kepada Allah, bersedekahlah dan beristiqamahlah.
            Nabi SAW bersabda : “sesungguhnya jika ingin menghancurkan seorang hambanya, pasti ia mencabut rasa malunya, maka jika telah dicabut rasa malunya, kamu tidak akan menjumpainya lagi kecuali ia membenci dan dibenci, dan jika engkau tidak menjumpainya kecuali ia membenci dan dibenci, dicabut rasa amanah darinya, maka jika dicabut rasa amanah darinya, engkau tidak menjumpainya kecuali ia khianat dan mengkhianati, dan jika engkau tidak menjumpainya kecuali ia khianat dan mengkhianati dicabutlah kasih sayang darinya, jika kasih sayang dicabut darinya maka engkau tidak menjumpainya kecuali ia dikutuk dan dilaknat, dan jika engkau tidak menjumpainya kecuali ia dikutuk dan dilaknat maka dicabutlah buhul keislaman darinya.”(H.R Ibnu Majah no.4054)
            Itulah awal dari kehancuran dimulai dengan dicabutnya rasa malu, subhanallah, ketika dijalan kita menjumpai orang-orang tidak mempunyai rasa malu, kita sendiri malu dengan perbuatan mereka, sedangkan mereka bersikap acuh terhadap perbuatan yang dilakukannya.
            Fathimah binti Utbah bin Rabi’ah mendatangi Rasulullah SAW karena ia hendak masuk islam. Saat itu terdapat Aisyah r.a, maka Nabi SAW bersabda : “Ya Fathimah, berbaiatlah kepadaku, jangan engkau menyekutu Allah sedikit pun, jangan mencuri, apalagi sampai berbuat zina.” Ketika Fathimah mendengar kata “zina” ia menutupi wajahnya dengan tangannya disebabkan malu. Rasulullah SAW merasa heran dengan sikap yang diperlihatkan oleh Fathimah tersebut, lalu Aisyah r.a berkata : “Ya Fathimah, berbaiatlah engkau, karena seluruh wanita telah berbaiat tentang hal itu.” Maka Fathimah pun berbaiat.
            Aisyah r,a berkata, “saya memasuki rumahku di dalamnya terdapat makam Rasulullah SAW dan Abu Bakar r.a aku berkata pada diriku sendiri (Ayahku dan Suamiku), lalu aku menanggalkan bajuku. Ketika Umar bin Khaththab r.a disemayamkan di samping Rasulullah SAW dan ayahku, aku jadi malu untuk menanggalkan bajuku dan semakin kupertebal dalam memakai baju, karena aku malu terhadap umar bin Al Khaththab.” Jangan heran, karena hati itu hidup dan mempunyai rasa malu, akan tetapi lihat pada rasa malunya Aisyah r.a yang malu kepada makam Umar.
            Nabi SAW bersabda :”Apakah saya tidak malu terhadap Ustman? Padahal malaikat pun malu kepadanya.”(H.R Muslim no.6159 dan Ahmad: V/62) Sampai malaikat pun malu terhadapnya, disebabkan rasa malu dan akhlak yang dimilikinya, siapakah diantara kita yang memiliki seperempat rasa malu yang dimiliki Ustman r.a ? atau sampai sepersepuluh ?. Demi Allah, kita sangat memimpikan dapat melihat langsung sosok kepribadian Ustman r.a. Ya Allah, masukkanlah kami kedalam syurga dan jadikanlah kami termasuk orang-orang yang dapat melihatnya. Tirulah beliau, walaupun kita tidak dapat merealisasikan akhlaknya secara utuh, karena, meniru akhlak orang-orang yang mulia adalah sebuah kemenangan.[2]

2.2 Jenis dan Sifat Rasa Malu
            Para Ulama berkata “Ketahuilah bahwa Allah SWT mengkategorikan rasa malu itu kedalam enam kiteria” yaitu :
1.      Malu Melakukan Tindakan Pidana
Malu untuk melakukan tindak pidana berarti ia tidak berani untuk beraksi melakukan berbagai motif kriminalitas. Sebagaiman rasa malunya Nabi Adam a.s ketika ia makan buah terlarang, ia terus berlari bersama istrinya mengintari syurga, kemudian Allah SWT menegurnya,“ Hendak kemanakah engkau wahai Adam, apakah engkau akan lari dariku ? ”Tidak, wahai Rabbku, bahkan aku malu terhadapmu , jawab Adam a.s.
Apakah hal seperti ini pernah terjadi pada diri kita, ketika kita tidak dapat tidur disebabkan malu kepada Allah karena melakukan kemaksiatan terhadapnya .


2.      Malu Karena Lalai
Yang dimaksud dengan malu karena lalai adalah malu yang timbul saat seseorang tidak beribadah kepada Allah dengan semestinya. Siapakah yang dapat beribadah kepada Allah secara maksimal ? pasti kita tidak menemukan orangnya. Hal ini disebabkan karena kelalaian kita. Sebagaiman Nabi SAW bersabda :”Langit itu bergemuruh dan telah menjadi suatu keniscayaan langit itu akan selalu bergemuru. Jarak langit tersebut hanyalah tiga tapak jari jemari, kecuali malaikat itu tetap sujud dan rukuk atau tetap beribadah kepada Allah. Jika datang hari kiamat mereka berkata ‘Maha suci Engkau, kami tidak dapat menyembahmu semaksimal mungkin.”(H.R Ahmad : V/173)
Sebelum ini, apakah kita pernah merasakan kelalaian itu ? apakah kita malu kepadanya  subhanallah, tidak akan merasakan perbuatan ini kecuali orang yang pernah merasakan kegetiran. Setiap kali ketaatan kita kepada Allah bertambah, maka bertambah pula rasa malu yang kita rasakan terhadapnya. Setiap kali keimanan kita bertambah, maka bertambah pula rasa malu kita kepadanya, sungguh, malu Karena lalai tidak ada habis-habisnya.
3.      Malu Atas Nikmat Allah
Hal ini biasa terjadi karena semata-mata kucuran nikmat Allah untuk kita yang tiada henti-hentinya. Tapi, kita tidak tahu bagaimana bersyukur kepadanya serta malu atas nikmat darinya, sebagaimana malunya Nabi SAW ketika ia berdoa seraya berkata :”saya tidak dapat menghitung pujian untukmu sebagaiman Engkau memuji terhadap diriku.”(H.R Ahmad : VI/51)
Tidakkah sebelumnya, kita merasa hal seperti ini ? dan dari kenikmatan Allah yang dilimpahkan kepada diri kita, seharusnya kita hendaklah malu terhadapnya karena minimnya tanda bersyukur kita kepada Allah.
4.      Malu Dalam Beribadah
Yaitu malunya seorang hamba yang tahu serta taat terhadap pelindungnya. Ia tidak akan menolak perintahnya. Sebagaimana malunya Nabi SAW ketika arah kiblat masih menghadap ke Masjid Al-Aqsha. Saat Nabi SAW begitu ingin agar arah kiblat menghadap ke Ka’ba, maka apakah Nabi SAW berkata : ‘’wahai Rabbku, pindahkanlah arah kiblat ini ?”
Tidak, demi Allah…itulah bentuk rasa malu seorang hamba. Allah SWT berfirman : ‘’sungguh kami (sering) melihat mukamu menegadah ke langit.” (Al-Baqarah : 144). Saat itu Nabi SAW mengarahkan kedua sorot matanya ke langit. Beliau tidak berbicara sepatah kata pun karena malu kepada Allah SWT. Sungguh, Nabi SAW adalah orang yang sangat pemalu melebihi gadis perawan, siapakah orang yang ibadahnya melebihi Rasulullah SAW, sehingga mempunyai rasa malu melebihi yang seperti ini .
5.      Malu Karena Cinta
Pembahasan masalah yang satu ini tidak perlu di perdebatkan tetapi sebaiknya kita mendalami serta menghayatinya. Maka, bukalah hati kita untuk Allah. Karena kecintaan kita yang luar biasa kepada Allah, pasti kita akan malu terhadapnya. Bahkan, kita mungkin sampai menitikkan air mata.
Dari rasa malu Nabi SAW dan kecintaannya yang luar biasa kepada Allah, beliau berdoa : “Aku memohon cinta mu dan cinta orang yang mencintai mu serta kecintaan terhadap amal yang dapat mendekatkan ku kepada cinta mu.”(H.R At-Tirmidzi no.3491).
Coba dan berusahalah, serta tingkatkan ketaatan, pasti kita akan menemukan cinta Allah dalam hati sanubari, dan saat itulah kita akan mempunyai rasa malu kepadanya. Itulah rasa yang sulit untuk diungkapkan.
6.      Malu Terhadap Keagungan Allah
Itulah rasa malu yang terpancar dari keagungan Allah semata, sebagaiman malunya Jibril dla perjalanan Isra’ dan Mikraj ketika sampai kelangit tujuh. Ketika Nabi SAW akan memasuki Sidratul Muntaha bersama Jibril, mendadak Jibril menghentikan langkahnya. Nabi SAW menceritakan, ‘’Aku menengok ke arah Jibril. Ternyata ia ibarat potongan kain yang robek-robek karena takut kepada Allah serta malu dengan nya, disebabkan ia merasakan akan kebesaran serta keagungannya.’’
Jadi, malu aan menjadikan kita berfikir seribu kali ketika hendak melakukan maksiat, karena jika kita melakukan maksiat berarti kita menentang keagungannya.[3]
2.3 Bidang-Bidang Dari Akhlak Malu
            Malu itu mempunya bidang-bidang , diantaranya  :
·         Malu dalam berbicara. Artinya hendaklah seseorang muslim membersihkan lisannya dari bicara kotor atau menceritakan aib saudaranya.
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf.” (Q.S An Nisaa’ : 114)
Rasulullah SAW bersabda : “Bukan seorang mukmin, yang suka melukai, pengutuk, penjahat dan pencetus perkataan kotor.”
Kemudian hendaklah seorang muslim sederhana dalam berbicara atau jangan banak bicara yang terkadang dicampuri riya’. Rasulullah SAW bersabda : “Orang muslim itu orang yang muslim-muslim lainnya selamat dari lisan dan tangannya. “
Termasuk malu pula jika seseorang muslim malu di bayang-bayangi keburukan. Karena itu hendaklah menjaga apa-apa yang di dengarnya agar tetap baik.
·         Malu itu bukan takut atau ketakutan, tetapi merupakan bentuk keberanian yang sangat tinggi. Ada perbedaan antara malu dan segan. Segan itu terjadi pada kebaikan dan keburukan, terkadang menyeret pada keadaan buruk. Sedangkan malu tak terjadi kecuali pada aturan menurut syari’ah. Maka malu itu bukan kepada kebathilan, dan tak ada tempat malu pada manusia jika sedang sesat sebagaimana tak ada tempat baginya ketika seseorang membela kebenaran. “Dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. “(Q.S Al Ahzab : 53).[4]





2.4 Perbedaan Antara Sikap Malu dan Tersipu
            Banyak orang salah paham bahwa malu itu berarti, merendah atau pun tersipu. Akan tetapi, sebenarnya disana terdapat perbedaan yang amat mendasar antara malu dan tersipu itu. Tersipu sebagaimana yang di definisikan oleh pakar ahli jiwa adalah sikap gagap yang dialami oleh seseorang karena kondisi tertentu. Seperti ketika seorang guru bertanya kepada muridnya, maka kita akan melihat si murid tersebut gagap dan tidak dapat mengutarakan pendapatnya dengan jelas.
            Sikap tersipu disebabkan oleh kebodohan atau lemah kepribadiannya, sehingga ia menjadi pribadi yang rapuh. Akan tetapi malu mempunyai pengertian sebaliknya, karena malu itu sebuah refleksi dari kepribadian yang penuh percaya diri. Ia akan merasakan sebuah kepribadian yang bermartabat, karena mampu menghindari perbuatan negatif.[5]


[1] Iman Abdul Mukmin Sa’aduddin, Meneladani Akhlak Nabi Membangun Kepribadian Muslim, PT Remaja Rosdakarya, Bandung : 2006, hlm.168-173
[2] Amru Khalid, Semulia Akhlak Nabi Muhammad SAW, Aqwam Jembatan Ilmu, Solo : 2002, hlm. 222-227